Dongeng dari Tanah Tiga Sungai Di sebuah negeri yang sunyinya lebih nyaring dari sorak sorai pesta rakyat, genderang pemilihan mulai ditabuh. Langit belum sepenuhnya cerah, dan jalan-jalan masih penuh kabut pilihan. Para penunggang kuda putih masih menimbang langkah, sementara para penjaga gerbang istana saling pandang menanti siapa yang patut diusung ke tengah gelanggang. Seperti itulah juga kini, di tanah kita. Kabut masih bergelayut di atas demokrasi, sementara genderang pesta politik ditabuh di mana-mana. Namun, di balik keramaian yang sepi itu, ada satu tangan yang telah lebih dulu menulis. Ia bukan penghuni menara tinggi, bukan pula penguasa suara-suara yang menggema di ruang pesta. Ia hanya dikenal sebagai Si Penenun Bayangan. Tak ada yang melihatnya terang, sebab ia memilih bergerak di balik tirai. Tak bersorban pengaruh, tak berselendang kuasa. Tapi benangnya kuat. Ia menganyam dari ruang ke ruang, dari bisik ke bisik, dari pintu yang hampir tertutup hingga celah kecil yang ia dorong perlahan agar terbuka. Di saat para penunggang kuda sibuk berkaca, ia justru sibuk menyiapkan panggung. Ia taburkan cerita tentang kesederhanaan seorang tokoh, ia tiupkan lagu-lagu lama tentang pengabdian, ia lukis wajah dengan kuas keikhlasan. Ia tahu, dalam gelap, suara tak boleh keras. Ia harus halus, merayap, meresap. Seperti yang kini masih kita saksikan: ada mereka yang bekerja tanpa nama, tanpa sorotan, merajut suara-suara kecil yang akhirnya mengalir menjadi arus besar. Sang Tokoh pun lambat laun menguat. Bukan karena gemuruh dari atas, tapi karena gemuruh yang tumbuh dari bawah. Jejak-jejak tak kasat mata yang ditinggalkan Si Penenun Bayangan mulai membentuk jalan. Sang Tokoh melangkah, dan jalan itu seakan menuntunnya menuju tahta. Dan saat genderang kemenangan ditabuh, sorak pun bergema ke seantero negeri. Sang Tokoh dinobatkan. Istana membuka pintunya bagi para penari, penjaga, pemetik kecapi, dan penata cahaya. Semua diberi tempat. Kecuali satu: Si Penenun Bayangan. Namanya tak disebut. Wajahnya tak dikenang. Seolah benang-benang yang ia rajut tak pernah ada. Ia bukan tak hadir. Ia hanya tak ditulis. Sebab di negeri ini dan kini di banyak negeri kitakisah bukan milik penulis, melainkan milik yang dibacakan. Dan panggung, secepat ia dibangun, secepat itu pula diganti pemiliknya. Namun, angin masih menyimpan bisik. Hutan masih menyimpan jejak. Mereka tahu, di balik segala kemilau lampu, ada tangan yang menata nyala. Tangan yang kini kembali ke sunyi, menenun benang untuk kisah berikutnya. Dan siapa tahu, kelak, ketika kursi kembali kosong seperti yang selalu terjadi dalam roda demokrasi negeri ini akan kembali mencari sang penenun yang lama terlupa, dan mendengar kisahnya yang belum rampung ditulis.
PEMERINTAHAN 24 September 2025
"Yang Mulia, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Delegasi yang terhormat, hadirin sekalian, Merupakan kehormatan besar untuk berdiri di Aula Sidang Umum yang agung ini, di antara para...
Selengkapnya...10 Teknologi Canggih Terbaru 2025 & Kecanggihan Teknologi Perkembangan Teknologi Masa Depan Inovasi
VIDEO 05 September 2025Copyright © GoKLIK.CO.ID
All Rights Reserved.
By
Copyright © GoKLIK.CO.ID | All Rights Reserved.
By